PENYU; ANTARA PELESTARIAN DAN DESAKAN EKONOMI

Friday, August 21, 2009
1. BKSDA TERLIBAT
Niat baik WWF-Indonesia menjaga kelestarian penyu sungguh miris. Pasalnya, Press Trip urtle Paloh menguak fakta, bahwa penjualan telur penyu yang dianggap terlarang, ternyata
dilakoni oleh oknum Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk menggaji pegawai onorernya.
BKSDA Kalbar sejauh ini didaulat untuk menjaga kelestarian penyu maupun penangkarannya. amun kondisi di lapangan, penjaga penyu ber-plat merah ini justru melegalkan penjualan telur enyu. adahal di tingkat Nasional, sudah ada UU No. 5/1990, pasal 40 yang akan menjegal para elanggar seperti itu, dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100juta.
Meski hal ini dianggap sangat tak masuk akal, namun kenyataan ini dibenarkan Latif, yang bekerja sebagai tenaga honorer penangkar BKSDA di Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung Belimbing, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.
Menurut pria 40 tahun ini, BKSDA terpaksa menjual telur penyu untuk membiayai pegawai honorernya. Hal ini terpaksa dilakukan, karena BKSDA tak menyediakan dana untuk itu. Jadi hal ini dapat dikatakan atas inisiatif sendiri meski tahu menyalahi UU. Untuk membiayai pegawai honorer ini, Latif mengaku bahwa telur dijual setiap akhir bulan. Kondisi ini diakui dijual hanya untuk membayar gaji saja, selebihnya tidak.
Untuk pegawai honorer ini, Latif mengaku bahwa setiap telur yang ditemukan pegawainya akan dihargai Rp300 perbuah. Rupiah ini akan bertambah lagi dengan hasil penjualan telur penyu di tiap akhir bulan.
Dari pembicaraan yang dilakukan terlihat bahwa Latif sepertinya merasa grogi dengan berbagai pertanyaan yang diajukan, alhasil berbagai jawaban pun sering tak sinergi antara satu dengan yang lain.
Mungkin sudah merasa terdesak, Latif akhirnya menyebut nama Furqon sebagai sosok yang dijelaskannya tahu banyak tentang penyu di seputaran Paloh ini. Furqon kata Latif merupakan Kepala Resort BKSDA, Kecamatan Paloh.
Dari keterangan Furqon, memang diakui bahwa penjualan telur penyu dilakukan untuk membiayai tenaga honorer BKSDA. Hanya saja yang membedakan bahwa inisiatif ini dicetuskan oleh Latif yang statusnya sebagai pegawai honorer. Dengan kata lain, pegawai honorer menentukan gajinya sendiri dan melalui opsi yang ditentukannya juga. “Tidak banyak telur yang dijual, hanya untuk membiayai gaji saja. Sedangkan sisanya langsung ditangkarkan,” beber Furqon. Penjualan berlangsung sejak BKSDA mengelola penuh TWA Tanjung Belimbing Januari 2009.
”Sebagian telur ditangkarkan, sebagian lagi dijual untuk membiayai penangkaran penyu dan ongkos orang yang menjaga di TWA,” kata Furqon.
Latif memberikan laporan bulanan kepada Furqon tentang jumlah telur yang ditetaskan, tetapi tidak memberikan laporan jumlah telur yang dijual. ”Semua dikelola Latif. Kepala Seksi KSDA Singkawang (yang membawahkan TWA Tanjung Belimbing) dan Kepala BKSDA juga mengetahuinya,” kata Furqon.
Latif yang ditemui secara terpisah mengakui menjual sebagian telur penyu untuk upah dirinya dan 8 anak buahnya serta membeli ikan untuk pakan tukik (anak penyu). Ia mengambil honor Rp 700.000 setiap bulan, sedangkan 8 karyawannya digaji Rp 300 untuk setiap butir telur yang diambil dari sarang penyu.
”Terpaksalah kami jual sedikit-sedikit karena tidak ada pendanaan. Setiap akhir bulan dijual, untuk menggaji tenaga yang mengambil telur di pantai dan menjaga penangkaran,” katanya.
M Zaini, tenaga yang dipekerjakan Latif, mengatakan, pada musim penyu bertelur bulan April-Juli dapat dikumpulkan sekitar 200 butir telur setiap malam. Saat ditemui, Sabtu dini hari, Zaini tengah mencari telur penyu di pantai.
Telur yang ditangkarkan dan dilaporkan Latif ke Resor KSDA Paloh setiap bulan maksimal hanya 2.000 butir.
Warga pernah tiga kali melapor kepada polisi tentang praktik penjualan telur penyu oleh Latif dan kelompoknya. Namun, laporan itu belum ditanggapi.
Tenaga honorer diakui terpaksa direkrut BKSDA untuk membantu penjagaan pantai sepanjang 10 km. Dimana sejauh ini, peran 8 tenaga honorer yang dipekerjakan adalah untuk menjaga lokasi penangkaran, serta melakukan patroli sambil mengambil telur-telur sebelum diambil pencuri.
Namun berdasarkan cerita dari masyarakat sendiri, bahwa pembelian telur penyu justru dilakukan oleh orang-orang BKSDA sendiri. Berapa pun jumlahnya pasti akan terlayani, sementara kalau mau membeli dari masyarakat jumlahnya terbatas. Tetapi kalau hanya untuk dikonsumsi sendiri, pembelian dari masyarakat dirasa lebih dari cukup. Lain hal kalau untuk partai besar.
Kewenangan BKSDA dalam menjaga kelestarian penyu di Paloh memang patut dikaji kembali. Dimana selain penjualan telur dengan sengaja, pembelian juga dapat dilakukan kepada Balai yang seharusnya melarang ini semua.
“Hal itok be, bukanan rahasie agek. Payah nak ngomong dah be. (Hal ini bukan rahasia lagi, semua tahu, hanya susah mau bilangnya saja),” ujar Haryadi dengan logat Sambas.
Meski telur penyu dilarang untuk diperjualbelikan, namun di kantor BKSDA ternyata bisa membeli dalam jumlah tertentu. Sementara masyarakat yang ketahuan menjual telur selain BKSDA ditegur keras bahkan diancam penjara.
Dengan UU sebagai tameng, petugas BKSDA sangat leluasa memperdagangkan telur penyu, sementara warga merasa ketakutan bila kedapatan menjual telur penyu. Seperti diberitakan sebelumnya, sebagian besar telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) hasil perburuan di Kecamatan Paloh, Sambas, dijual dan diselundupkan ke Serawak, Malaysia.
Lihat saja di Paloh, dimana salah seorang penampung besar berbagai hasil laut, seperti ikan hingga lobster, tak berani menyediakan telur penyu. Menurut Yuli, semenjak BKSDA ada di Paloh, semua menjadi berubah.
Jika dahulu warga bebas menjual, namun sekarang harus pandai-pandai, jangan sampai ketahuan BKSDA. Sementara untuk mengkonsumsinya tidak masalah karena memang disukai oleh hampir seluruh warga Paloh.
Ancaman BKSDA itu ternyata ditertawakan oleh Amok (31). Mantan penjaga pantai di BKSDA itu, melihat ancaman tersebut tidak lebih dari akal-akalan oknum petugas BKSDA saja.
Daripada mengancam masyarakat dengan UU, Amok mempersilahkan WWF-Indonesia balik mengancam BKSDA saja yang memonopoli penjualan telur penyu selama ini.

2. KEPUNAHAN PENYU SEMAKIN DEKAT
Dwi Suprapti, dari WWF-Indonesia-West Kalimantan, membeberkan bahwa dari 904 jejak sarang tersebut, hanya ada 2 saja yang selamat atau tidak tersentuh oleh pencuri telur. Selain ancaman pencurian telur penyu, masyarakat ternyata memiliki kebiasaan lain yakni membunuh induk penyu yang akan bertelur. Beragam alasan, penyu terganggu dan tidak jadi bertelur jika melihat cahaya. Dam penyu akan balik lagi ke laut untuk mencari waktu lain atau lokasi lainnya. Tak mau buruannya lepas, sang pencuri langsung membunuh induk penyu dan mengambil telurnya. Sementara tubuhnya dibiarkan terongkok di hutan hingga busuk.
Pembantaian seperti ini diakui Asman (37) selaku Sekdes Temajo, tidaklah banyak dilakoni warga, yang berperilaku seperti itu hanya 1-2 orang saja. “Itu pun dengan berbagai kondisi, seperti sudah lama menunggu penyu bertelur hingga berjam-jam namun tidak jadi,” jelas Asman.
Untuk menyadarkan masyarakat, Asman hanya meminta kepada pemerintah untuk menyediakan jalan darat. Karena sepanjang jalan darat tidak ada, masyarakat akan tetap menggunakan jalan pantai yang akan terus bertemu penyu yang akan bertelur. Keberadaan BKSDA sebagai penjaga penyu juga tak dapat diandalkan. Karena kalau warga yang ketahuan akan mengambil telur penyu pun, langsung dibagi di lokasi. Hanya saja dengan kediktatoran BKSDA, jatahnya lebih banyak dari sang penemu pertama.

3. RIBUAN TELUR PENYU DIJUAL KE MALAYSIA
Sebagian besar telur penyu hijau dan penyu sisik hasil perburuan di pesisir barat laut Kalimantan Barat, tepatnya di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, dijual dan diselundupkan ke Serawak, Malaysia, melalui perlintasan tradisional di perbatasan darat.
Perburuan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) hingga saat ini masih terus berlangsung, padahal penyu termasuk satwa yang terancam punah dan keberadaannya dilindungi undang-undang.
”Sebagian besar telur penyu itu dijual ke Malaysia. Hanya sedikit yang dijual ke wilayah kita, seperti di Tebas, Sambas, dan Pinyuh (Kabupaten Pontianak), karena takut dirazia. Tiap butir dijual sekitar Rp 1.500-Rp 2.000,” kata Turtle Monitoring Officer WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat Dwi Suprapti, Selasa (28/7).
Menurut pantauan WWF, dalam dua bulan terakhir di sepanjang 8 kilometer pesisir pantai Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, hanya ada dua dari 904 sarang penyu yang telurnya selamat dari penjarahan manusia. Padahal, di tiap sarang penyu, diperkirakan ada 113-180 butir telur.
Penjualan dan penyelundupan telur penyu dari Paloh ke Malaysia melalui perbatasan menjadi ironis mengingat di Malaysia juga ada kawasan konservasi penyu.
Dijelaskan, mereka juga melarang perburuan telur penyu di wilayahnya, tetapi masih mau menerima telur penyu yang diselundupkan dari Indonesia.
Dari sekitar 63 kilometer pesisir pantai di Kecamatan Paloh yang biasa digunakan untuk tempat bertelur penyu, yakni bentang lahan dari Taman Wisata Alam Belimbing hingga Tanjung Datuk, praktis hanya di sepanjang 10 kilometer wilayah taman wisata yang terpantau oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. Itu pun hanya ada satu petugas di sana.
Dwi menambahkan, selain perburuan telur penyu, ancaman lingkungan juga datang dari abrasi pantai. ”Kalau telur-telur terguyur air laut, dia tidak akan menetas menjadi tukik. Lalu, sepanjang ruas pantai itu juga menjadi jalur transportasi motor dan mobil. Dengan demikian, kawasan penyu itu memang rawan rusak.”
Adapun di sebelah utara Taman Wisata Alam Belimbing akan dibangun Pelabuhan LNG—saat ini dalam tahap pengusulan—nantinya akan ada hilir mudik kapal besar mengganggu ketenangan penyu-penyu. Padahal, penyu selalu meninggalkan pantai yang sudah ramai dengan aktivitas manusia.
Marine Species Programme National Coordinator WWF Indonesia Creusa Hitipeuw menyatakan, populasi penyu yang singgah untuk bertelur di pesisir pantai Paloh cukup banyak, tetapi ancaman bagi kelangsungan habitat di sana juga cukup serius.
Hal itu yang mendorong WWF memberikan perhatian terhadap pelestarian penyu di pesisir Paloh.
Ia mengatakan, migrasi penyu hijau dan penyu sisik di kawasan itu diperkirakan mencapai Laut China Selatan hingga ke timur di Laut Sulu di Sulawesi. Namun, diperlukan penelitian yang mendalam untuk memastikan area jelajah penyu hijau dan penyu sisik tersebut.

Sumber :
1. Pontianak Post
2. Kompas
3. WWF-Indonesia

0 comments:

Post a Comment